Dilema Bajaj
Oleh
Praditio Anggoro
Pada
umumnya setiap masyarakat Jakarta yang tinggal di perumahan sebenarnya sangat menginginkan
angkutan transportasi yang murah, nyaman dan mudah dijangkau, serta ramah
lingkungan. Inilah sebuah gambaran nyata mode sarana transportasi yang sangat
dinantikan dan diinginkan oleh warga Jakarta dan sekitarnya.
Akan
tetapi, gambaran itu tampaknya hanya menjadi wacana saja dan mungkin akan sulit
terwujud di kota-kota besar di Indonesia khususnya di DKI Jakarta. Hal ini jelas
terlihat dari banyaknya kendaraan umum dan pribadi yang semakin semrawut di
kota metropolitan ini. Belum lagi jumlah volume kendaraan setiap tahunnya
semakin meningkat dan bertambah dengan pesat. Kondisi seperti ini cendrung
tidak diimbangi dengan penambahan sarana dan prasarana jalan yang baik dari
pemerintah.
Contoh
saja transportasi yang dulunya banyak beroperasi di daerah Jakarta adalah
bajaj. Kendaraan roda tiga ini selalu menimbulkan kebisingan dan banyak
mengeluarkan asap melalui knalpotnya
yang menyebabkan polusi udara meningkat. Pemerintah kota DKI Jakarta sebenarnya
telah mengambil kebijakan untuk menggantikan kendaraan ini dengan model baru
yang disebut kendaraan kancil. Sebenarnya kendaraan kancil ini mempunyai ciri
khas tersendiri, misalnya yaitu kendaraan kancil ini menggunakan Bahan Bakar
Gas (BBG) yang dapat mengurangi polusi udara, selain itu kendaraan ini pun
dapat mengangkut lebih dari tiga orang, serta lebih terlihat rapi dan nyaman.
Akan
tetapi, kebijakan Pemerintah kota DKI Jakarta mengganti bajaj dengan kendaraan
kancil tersebut banyak menuai kontra/penolakan dari para pemilik bajaj.
Menurutnya kendaraan ini adalah satu-satunya kendaraan yang dia miliki dan
merupakan sumber penghidupan bagi keluarganya, serta dianggap sangat mudah keluar
masuk jalan dan gang-gang sempit. Para pemilik bajaj pun mengaku jika
bajajnya diganti dengan kendaraan kancil, ia tak sanggup untuk membelinya.
Karena, harga satu unit kendaraan kancil tersebut jauh lebih mahal bila
dibandingkan dengan harga satu unit bajaj. Walaupun bajaj menjengkelkan di
jalan raya dan tidak nyaman, sebagian besar warga Jakarta masih membutuhkan
tenaganya
Kebijakan
pemerintah DKI Jakarta menggantikan bajaj ke alat transportasi kancil dinilai
memberatkan si pemilik/supir bajaj. Pasalnya ia harus berjuang mati-matian
setiap harinya untuk dapat menyambung hidup dan memenuhi kebutuhan hidupnya di
Jakarta, serta membayar uang kontrakan dan membiayai keluarganya di kampung.
Dan belum lagi ia setiap hari harus menyetorkan uang antara 20 ribu sampai 40
ribu rupiah kepada bosnya.
Mengingat
masalah bajaj adalah masalah sumber penghidupan dan perut banyak orang,
semestinya pemerintah mengambil langkah-langkah kebijakan alternatif lainnya
yang lebih efektif agar tidak selalu memberatkan rakyat kecil dan tidak menjadi
permasalahan yang sulit ditangani. Pemerintah jangan hanya melihat sudut
pandang para pemilik/supir bajaj dari sebelah mata saja, melainkan melalui
sudut pandang keseluruhannya, karena masalah tersebut sudah menjadi masalah
perut banyak orang dan sudah menjadi sumber penghidupan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar