Dilema Bajaj
Oleh
Praditio Anggoro
Pada
umumnya setiap masyarakat Jakarta yang tinggal di perumahan sebenarnya sangat menginginkan
angkutan transportasi yang murah, nyaman dan mudah dijangkau, serta ramah
lingkungan. Inilah sebuah gambaran nyata mode sarana transportasi yang sangat
dinantikan dan diinginkan oleh warga Jakarta dan sekitarnya.
Akan
tetapi, gambaran itu tampaknya hanya menjadi wacana saja dan mungkin akan sulit
terwujud di kota-kota besar di Indonesia khususnya di DKI Jakarta. Hal ini jelas
terlihat dari banyaknya kendaraan umum dan pribadi yang semakin semrawut di
kota metropolitan ini. Belum lagi jumlah volume kendaraan setiap tahunnya
semakin meningkat dan bertambah dengan pesat. Kondisi seperti ini cendrung
tidak diimbangi dengan penambahan sarana dan prasarana jalan yang baik dari
pemerintah.


Kebijakan
pemerintah DKI Jakarta menggantikan bajaj ke alat transportasi kancil dinilai
memberatkan si pemilik/supir bajaj. Pasalnya ia harus berjuang mati-matian
setiap harinya untuk dapat menyambung hidup dan memenuhi kebutuhan hidupnya di
Jakarta, serta membayar uang kontrakan dan membiayai keluarganya di kampung.
Dan belum lagi ia setiap hari harus menyetorkan uang antara 20 ribu sampai 40
ribu rupiah kepada bosnya.
Mengingat
masalah bajaj adalah masalah sumber penghidupan dan perut banyak orang,
semestinya pemerintah mengambil langkah-langkah kebijakan alternatif lainnya
yang lebih efektif agar tidak selalu memberatkan rakyat kecil dan tidak menjadi
permasalahan yang sulit ditangani. Pemerintah jangan hanya melihat sudut
pandang para pemilik/supir bajaj dari sebelah mata saja, melainkan melalui
sudut pandang keseluruhannya, karena masalah tersebut sudah menjadi masalah
perut banyak orang dan sudah menjadi sumber penghidupan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar